Selasa, 28 Juni 2011

Pelaku Zina

Silahkan baca dan renungkan...........
I. Nash Ayat


(Qs. An-Nuur : 2)

Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100
kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan
hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2)

II. Sebab turunnya ayat :

An-Nasai menyatakan bahwa Abdillah bin Amr berkata.`Ada seorang wanita
bernama Ummu Mahzul (atau Ummu Mahdun) yang musafih. Dan seorang laki-laki
shahabat Rasulullah SAW ingin menikahinya. Lalu turunlah ayat `Seorang
wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik dan hal itu diharamkan buat laki-laki mukminin`.

Abu Daud, An-Nasai, At-Tirmizy dan Al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amru
bin Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang bernama Mirtsad
datang ke Mekkah dan memiliki seorang teman wanita di Mekkah bernama `Anaq.
Lalu dia meminta izin pada Rasulullah SAW untuk menikahinya namun beliau
tidak menjawabnya hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya,`Ya Mirtsad, seorang wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh
laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan hal itu diharamkan buat
laki-laki mukminin`.

Para Mufassirin mengatakan bahwa ayat ini selain untuk Mirtsad bin Abi
Mirtsad, juga untuk pra shahabat yang fakir yang minta izin kepada
Rasulullah SAW untuk menikahi para wanita pelacur dari kalangan ahli kitab
dan para budak wanita di Madinah, maka turunlah ayat ini.

III. Pengertian Zina :

Para ulama fiqih memberi batasan bahwa zina yang dimaksud adalah masuknya
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita tanpa nikah atau syibhu nikah
(mirip/setengah nikah).

Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi
yaitu : hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf (aqil
baligh) pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa
paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam) di luar hubungan
kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah.

Bila kita breakdown definisi Al-Hanafiyah ini maka kita bisa melihat lebih
detail lagi :

1. Hubungan seksual : sedangkan percumbuan yang tidak sampai penetrasi
bukanlah dikatakan sebagai zina.

2. Yang haram : maksudnya pelakuknya adalah seorang mukallaf (aqil baligh).
Maka orang gila atau atau anak kecil tidak masuk dalam definisi ini.

3. pada kemaluan : sehingga bila dilakukan pada dubur bukanlah termasuk zina
oleh Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan oleh Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah dan
Al-Hanabilah meski dilakukan pada dubur sudah termasuk zina.

4. seorang wanita : bila dilakukan pada sesama jenis atau pada binatang
bukan termasuk zina.

5. yang hidup : bila dilakukan pada mayat bukan termasuk zina.

6. musytahah : maksudnya adalah bukan wanita anak kecil yang secara umum
tidak menarik untuk disetubuhi.

7. dalam kondisi tanpa paksaan : perkosaan yang dialami seorang wanita
tidaklah mewajibkan dirinya harus dihukum.

8. dan dilakukan di wilayah hukum Islam (darul Islam)

9. di luar hubungan kepemilikan (budak) atau nikah atau syubhat kepemilikan
atau syubhat nikah.

Dalam pengertian zina, terkandung beberapa hal yang menentukan apakah sebuah
perbuatan itu termasuk zina secara syar`i atau tidak, antara lain :

a.. Pelakunya adalah seorang mukallaf, yaitu aqil dan baligh. Sedangkan
bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar
nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib
dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang
idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
b.. Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun
seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan
binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori
zina, namun punya hukum tersendiri.
c.. Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila seseorang
menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam
kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila dilakukan dengan
memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita. Jadi bila dimasukkan
ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang dimaksud dan
memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam
Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang dimaksud.

a.. Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh pihak
laki-laki maupun wanita. §
b.. Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak
hukum Islam secara formal, yaitu di negeri yang `adil` atau `darul-Islam`.
Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka
pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.


VI. Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina :

Sedangkan untuk sampai kepada eksekusi atas pelaku perzinahan, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, antara lain :

1. Pelakunya adalah seorang yang sudah cukup usia (baligh).

2. Pelakunya adalah seorang yang sudah waras akalnya (aqil). Seorang gila
bila berzina dengan orang waras, maka yang dihukum hudud hanyalah yang waras
saja, sedangkan yang gila tidak dihukum hudud.

3. Pelakunya adalah seorang muslim dan muslimah. Pendapat Al-Malikiyah bahwa
bila seorang kafir laki-laki berzina dengan seorang wanita kafir maka tidak
dihukum hudud tetapi dihukum ta`zir sesuai dengan pandangan hakim sebagai
pelajaran bagi keduanya. Sedangkan bila laki-laki kafir berzina dengan
wanita muslimah, maka yang laki-laki dihukum ta`zir sedang yang muslimah
dihukum hudud.

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum
hudud.

4. Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama
sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat
dijatuhi hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud.
Namun Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum.

5. Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan. Bila
dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan
hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya
boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu
disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya
diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan.

6. Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk
kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan
wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita
dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh.

7. Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka
wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah
pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah dan
Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud.

8. Pelakunya adalah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina
adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama
setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman
hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat.

9. Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi.

10. Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau
bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.



V. Jenis Zina dan hukumannya

1. Jenis Zina

Para ulama membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu :

a. Pelaku zina yang belum pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya
disebut ghairu muhshan.

b. Pelaku zina yang sudah pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya
disebut muhshan.

2. Hukuman buat pezina :

Hukuman buat pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah
muhshan atau ghairu muhshan.

a. Hukuman zina ghairu muhshan

Hukuman zina ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk dan diasingkan selama
setahun.

Dalilnya adalah firman Allah SWT :

`Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing mereka
seratus kali.`

Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama
sedikit berbeda pandangan : E
Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja
tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah
zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa
menyebutkan pengasingan.

Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan
penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah
bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk
hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan
dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.

Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina
selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan
pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak
yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan
untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW :

`Ambillah dariku (ajaran agamamu) yang Allah telah jadikannya sebagai jalan.
Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan
diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka
hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam`.

Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki
saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada
mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena
Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang wanita,`Wanita tidak boleh
bepergian lebih dari 3 hari kecuali bersama suami atau mahramnya`.

Al-Malikiyah berkata bahwa laki-laki diasingkan ke negeri yang asing baginya
selama setahun, sedangkan wanita tidak diasingkan karena takut terjadinya
zina untuk kedua kalinya sebab pengasingan itu.

b. Hukuman zina muhshan

Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan
hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati.

Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara umum yaitu,`Tidak halal darah
seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina,
orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah`.

Dan secara praktek, selama masa hidup Rasulullah SAW paling tidak tercatat 3
kali beliau merajam pezina yaitu Asif, Maiz dan seorang wanita Ghamidiyah. E
Asif berzina dengan seorang wanita dan Rasulullah SAW memerintahkan kepada
Unais untuk menyidangkan perkaranya dan beliau bersabda,`Wahai Unais,
datangi wanita itu dan bila dia mengaku zina maka rajamlah`. E
Kisah Maiz diriwayatkan dari banyak alur hadits dimana Maiz pernah mengaku
berzina dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk merajamnya. E
Kisah seorang wanita Ghamidiyah yang datang kepada Rasulullah SAW mengaku
berzina dan telah hamil, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk
melahirkan dan merawat dulu anaknya itu hingga bisa makan sendiri dan
barulah dirajam.

Zina muhshan adalah puncak perbuatan keji sehingga akal manusia pun bisa
menilai kebusukan perbuatan ini, karena itu hukumannya adalah hukuman yang
maksimal yaitu hukuman mati dengan rajam.

VI. Syarat untuk merajam

Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena beratnya
hukuman ini, maka sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup
pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshah (muhshan) yang terdiri
dari rincian sbb :

1.. Islam
2.. Baligh
3.. Akil
4.. Merdeka
5.. Iffah
6.. Tazwij
Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari
nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan
mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah.

Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan
muhshan sehingga hukumannya bukan rajam.

VII. Penetapan / vonis zina

Untuk bisa melakukan hukuman bagi pezina, maka harus ada ketetapan hukum
yang syah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat.
Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan
dari langit yaitu syariat Islam.

Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya
melalui salah satu dari dua cara :

1. Ikrar atau pengakuan dari pelaku

Pengakuan sering diseubt dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang
paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim
bahwa dirinya telah melakukan kejahatan. Bila seorang telah berikrar di muka
hakim bahwa dirinya berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.

Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan
berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada
Maiz dan wanita Ghamidiyah.

Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya
sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam
Asy-Syafi`i ra., Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan
kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya,`Bila wanita itu
mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa
bila seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya
mengulang-ulang pengakuannya.

Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali
pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan
pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah ra.,
kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di emapt tempat yang
berbeda.

Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut
kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini
didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra.
Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia
lari karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang
mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan
berkata,

`Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari ?`. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak
bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.

Dasarnya adalah sebuah hadits berikut :

Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina
dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk
memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka
Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang
tidak mengaku. (HR. Ahmad dan Abu Daud)



2. Saksi yang bersaksi di depan mahkamah

Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasrkan
adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat,
karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang,
bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak
sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya,
tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang
berat.

Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :

1.. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman,`Dan terhadap wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu yang menyaksikan`.(QS. An-Nisa` : 15).
2.. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang
bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang dilakukan
oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina
Al-Nughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad.
3.. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh,
maka persaksian itu tidak syah.
4.. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
5.. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.
6.. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.
7.. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan
dengan bahasa kiasan.
8.. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis
dna dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah
persksian mereka.
9.. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka
persaksian mereka tidak syah.
Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman hudud,
tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah
ditetapkan dalam syariat secara baku.

Bahkan bila ada seorang wanita hamil dan tidak ada suaminya, tidak bisa
langsung divonis telah berzina. Tetap diperlukan pengakuan atau persaksian.
Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib bertanya kepada wanita yang hamil di
luar nikah,`Apakah kamu dipaksa berzina ?`. `Tidak`. `Barangkali ada
laki-laki yang menidurimu saat kamu tidur ? `. . .

Hanya Imam Malik ra. yang mengatakan bahwa bila ada wanita hamil tanpa suami
dan tidak ada indikasi diperkosa, maka wanita itu harus dihukum hudud.

www.kampussyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar